Jumat, 04 Juli 2025 - 22:56 WIB
Manusia cenderung mulai jarang tertawa saat memasuki usia 23 tahun.(Foto ilustrasi: Facebook Desy Putri)
Artikel.news, Makassar - Manusia cenderung mulai jarang tertawa saat memasuki usia 23 tahun. Narasi ini tengah viral di media sosial belakangan ini.
Pernyataan itu viral setelah dibagikan oleh pengguna akun Instagram @indo_psi***, yang mengutip isi buku Humour, Seriously karya Jennifer Aaker, profesor psikologi di Stanford Graduate School of Business, dan Naomi Bagdonas, seorang pelatih humor di lingkungan kerja.
Disebutkan dalam unggahan tersebut bahwa, “Manusia menjadi mulai jarang tertawa di usia 23 tahun karena beban kerja dan proses menuju kedewasaan”.
Unggahan ini sontak memantik berbagai reaksi dari warganet. Ada yang setuju karena merasa hidup memang makin serius di usia itu, tetapi tak sedikit juga yang justru menganggap hal tersebut tidak berlaku bagi semua orang.
Dilansir dari Kompas.com, Kamis (3/7/2025), dosen Fakultas Psikologi Universitas Soegijapranata Semarang, Christin Wibowo, menyebut, individu yang memasuki usia 23 tahun dan jarang tertawa berada dalam fase Quarter Life Crisis (QLC).
Meski tidak semua dialami oleh setiap individu, orang yang memasuki QLC cenderung menunjukkan sikap yang lebih serius dalam menjalani hidup.
Menurutnya, hal itu merupakan respons alami terhadap berbagai tuntutan yang muncul di usia seperempat abad.
“Di masa QLC, seseorang mulai menghadapi tanggung jawab besar seperti bekerja, mandiri secara emosional dan finansial, menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, serta mempersiapkan kehidupan berkeluarga meski bukan berarti harus segera menikah,” ujar Christin kepada Kompas.com.
Ia menambahkan, tekanan semacam itu seringkali membuat ekspresi wajah individu tampak lebih tegang.
“Mereka sedang berjuang menyelesaikan tugas-tugas perkembangan yang krusial. Jadi wajar jika terlihat lebih serius dan jarang tersenyum,” jelasnya.
Christin menegaskan bahwa krisis kehidupan bukan hanya terjadi pada usia muda.
Namun, masa QLC dinilai sangat rentan karena menjadi titik transisi dari ketergantungan pada orangtua menuju fase kemandirian.
“Di kelompok usia lain juga ada krisis, tapi perubahan yang terjadi di masa QLC ini sangat drastis,” kata Christin.
Meski begitu, ia menuturkan bahwa fase ini bisa dilalui dengan baik.
Jika tugas-tugas perkembangan itu bisa diselesaikan, biasanya setelah usia 30 seseorang mulai stabil dan bisa menikmati hidup dengan lebih bahagia.
"Bahkan di usia 40, banyak yang sudah sangat matang dan justru lebih happy,” tambahnya.
Terkait perbedaan pengalaman QLC berdasarkan jenis kelamin, Christin menyebut, belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus membuktikan peran gender dalam menentukan intensitas krisis.
Namun, dari pengamatannya, laki-laki dan perempuan sama-sama mengalami tekanan meski sumbernya berbeda.
“Perempuan biasanya tertekan karena tuntutan untuk segera menikah dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga. Padahal tugas perkembangan usia seperempat abad bukan tentang menikah,” ungkapnya.
Sementara itu, pria lebih banyak terbebani oleh tanggung jawab pekerjaan dan harapan sosial untuk menjadi pencari nafkah utama.
“Saya kira dua-duanya mengalami krisis, tapi di bidang yang berbeda,” jelas Christin.
Ia juga menuturkan bahwa perempuan umumnya lebih cepat menyadari krisis tersebut, yakni di usia 25 tahun, sedangkan laki-laki cenderung baru merasakannya sekitar usia 30 tahun.
Agar tetap bisa menikmati masa muda di tengah tekanan QLC, Christin menyarankan agar individu tetap terhubung dengan aktivitas yang disukai.
Menurutnya, menjaga hobi bisa menjadi sumber kekuatan dan motivasi untuk menjalani hari.
“Hobi bisa membantu kita tetap tersenyum, bahkan ketika sedang berada dalam masa penuh tantangan,” ucapnya.
Laporan | : | Fadli |
Editor | : | Ruslan Amrullah |