Rabu, 01 Februari 2023 - 18:53 WIB
Para kepala desa dan perangkat desa menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPR RI di Senayan, Jakarta, beberapa hari lalu, untuk meminta agar masa jabatan kepala desa diperpanjang hingga 9 tahun.(Foto: TVOnenews.com).
Artikel.news, Jakarta - Inddnesia Corruption Watch (ICW) merespons wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. ICW meminta agar wacana ini harus ditolak oleh pemerintah dan DPR.
Alasannya, selain bernuansa politis dengan tukar guling dukungan menuju kontestasi Pemilu 2024, usulan itu tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan desa
"Sebaliknya, akomodasi atas usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa," tulis pernyataan ICW, yang dilansir dari Kumparan.com, Rabu (1/2/2023).
ICW menjelaskan, desa masih dilanda sejumlah masalah mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi. Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa belum optimal.
"Oleh karena itu, pengambil kebijakan, baik itu eksekutif maupun legislatif, seharusnya fokus turun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk di dalamnya mereduksi potensi korupsi. Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa," jelas ICW.
Selain itu, tren penindakan korupsi yang diinventarisir ICW setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait desa. Korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021.
"Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar," kata ICW.
ICW menjelaskan, korupsi yang makin meningkat di desa beriringan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar untuk membangun desa.
Sejak 2015-2021, pemerintah telah menggelontorkan Rp 400,1 triliun dana desa untuk keperluan pembangunan desa, baik dalam hal pembangunan fisik maupun manusia melalui program pengembangan masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrem.
"Korupsi yang terjadi di desa akan berdampak pada kerugian yang dialami langsung oleh masyarakat desa. Hal ini perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Hingga saat ini, belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif untuk menekan korupsi di desa," jelas ICW.
ICW menilai usulan tersebut jika diakomodir akan menyebabkan tiga masalah mendasar.
Pertama, perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat dan bahkan dapat menyuburkan oligarki di desa.
Belum lagi fenomena dinasti yang juga muncul dalam pemilihan kepala desa. Akibatnya, potensi sebuah desa dipimpin oleh kelompok yang sama selama puluhan tahun semakin terbuka lebar.
"Salah satu masalah mendasar di desa hari ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan pembangunan," kata ICW.
"Selain itu, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan pembangunan oleh pemerintah desa disinyalir kerap melatarbelakangi praktik korupsi di sana," lanjut ICW.
Kedua, perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 yang menekankan limitasi terhadap kekuasaan di cabang eksekutif. Salah satunya dengan memberikan batasan jelas terhadap periode maupun lama jabatan.
Upaya untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa jelas bertentangan dengan semangat konstitusional tersebut.
Pasal 39 UU Desa mengatur satu periode masa jabatan kepala desa yaitu selama enam tahun. Kepala desa juga dapat menjabat paling banyak tiga periode, baik secara berturut-turut ataupun tidak.
Konstruksi pembatasan masa jabatan demikian telah diteguhkan konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 42/PUU-XIX/2021.
"Dibanding masa jabatan pejabat lain yang lahir dari mandat masyarakat, seperti kepala daerah, presiden, dan anggota legislatif, masa jabatan kepala desa ini jauh lebih panjang. Sayangnya, ide perpanjangan itu tidak didukung dengan argumentasi yang jelas dan cenderung bermuatan politis," kata ICW.
Ketiga, respons positif atas usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membawa preseden buruk dan patut dicurigai sebagai pintu masuk perpanjangan masa jabatan presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif.
Jika usulan tersebut diakomodasi, bukan tidak mungkin selanjutnya masa jabatan elected officials lain bisa diwacanakan untuk diperpanjang. Terlebih, narasi perpanjangan masa jabatan ini bukan kali pertama.
"Pada 2022, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPP APDESI) yang dipimpin Surta Wijaya mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo menjabat selama tiga periode," kata ICW.
Lebih jauh, ICW mengatakan tiga poin di atas bukan tanpa dasar. Gejala melanggengkan kekuasaan petahana kerap dimunculkan sejumlah kelompok belakangan waktu terakhir.
Modelnya beragam mulai dari penundaan pemilu, menambah masa jabatan presiden, hingga menjadikan periode waktu kepemimpinan presiden menjadi tiga periode.
"Atas dasar itu, ide untuk merevisi UU Desa dengan substansi terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa patut dicurigai sebagai agenda terselubung dari kelompok tertentu," jelas ICW.
Selain itu, alasan enam tahun tidak cukup untuk membangun desa karena adanya menimbulkan ketegangan dan polarisasi masyarakat pasca pilkades bukan alasan tepat untuk dijadikan justifikasi memperpanjang jabatan kepala desa.
ICW menilai, solusi atas persoalan ini adalah pembenahan pada sektor pilkades yang transaksional atau rentan jual beli suara serta konflik.
"Alih-alih menjegal usulan perpanjangan masa jabatan, sinyal positif justru ditunjukkan sejumlah partai politik dan politisi DPR. Tidak mengherankan, sebab, ada ceruk suara besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis di desa," kata ICW.
"Atas dasar itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar pembentuk UU secara tegas menolak usulan ganjil ini dan menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa," tutup ICW.
Laporan | : | Faisal |
Editor | : | Ruslan Amrullah |