Kamis, 03 Februari 2022 - 21:54 WIB
Beberapa tokoh yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) menggugat UU IKN tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (2/2/2022).
Artikel.news, Jakarta - Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) belum genap satu bulan disahkan tapi sudah digugat oleh sejumlah pihak. UU IKN ini disahkan dalam rapat paripurna DPR RI pada 18 Januari 2022 lalu.
Beberapa tokoh yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) menggugat UU IKN tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (2/2/2022).
Sejumlah tokoh yang tergabung dalam PNKN tersebut adalah mantan penasehat KPK Abdullah Hehamahua, Marwan Batubara, Muhyiddin Junaidi.
Kemudian ada sejumlah purnawirawan jenderal TNI yakni, Letjen TNI Mar (Purn) Suharto, Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat dan Mayjen TNI (Purn) Soenarko.
Permohonan gugatan yang diwakilkan Marwan Batubara itu menilai bahwa pembentukan UU IKN tidak disusun dan dibentuk dengan perencanaan yang berkesinambungan. Hal ini dapat dilihat dari dokumen perencanaan pembagunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan negara dan pelaksanaan pembagunan.
“Hal ini karena rencana IKN tidak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007, dan tidak tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019,” kata Marwan dalam petitum gugatannya, dikutip dari Jawapos.com, Kamis (3/2/2022).
Dia menegaskan, IKN mendadak muncul dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. Bahkan juga anggaran IKN tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022.
Selain itu, UU IKN dalam pembentukannya dinilai tidak benar-benar memperhatikan materi muatan, karena banyak mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam peraturan pelaksana. Bahwa dari 44 Pasal di UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana.
Kemudian, para pemohon menilai, pembentukan UU IKN tidak memperhitungkan efektivitas peraturan perundang-undangan dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
Selain itu, para pemohon juga berpendapat UU IKN tidak dibuat karena benar-benar dibutuhkan. Mereka mengutip hasil jajak pendapat salah satu lembaga survei yang menyatakan mayoritas masyarakat menolak perpindahan IKN.
Berikutnya, para pemohon menyatakan, tidak ada keterbukaan informasi pada tiap tahapan pembahasan UU IKN. Berdasarkan penelusuran para pemohon, dari 28 tahapan/agenda pembahasan RUU IKN di DPR, hanya ada tujuh agenda yang dokumen dan informasinya dapat diakses.
"Representasi masyarakat yang terlibat dalam pembahasan RUU IKN sangat parsial dan tidak holistik. Padahal IKN merupakan perwujudan bersama kota negara RI yang seharusnya dapat lebih memperluas partisipasi dan pihak-pihak dari berbagai daerah, golongan, dan unsur kepentingan masyarakat lainnya dalam pembahasannya," ujar para pemohon.
Karena itu, menurut para pemohon, tampak nyata dan terang benderang pembentukan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011.
Sementara itu, secara materiil banyak sekali ketentuan-ketentuan yang bermasalah apabila diberlakukan.
"Memohon kepada majelis hakim untuk memeriksa dan memutus, menyatakan UU IKN bertentangan dengan UUD 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian bunyi petitum dalam permohonan tersebut, dikutip dari Kompas.com, Kamis (3/2).
Laporan | : | Supri |
Editor | : | Ruslan Amrullah |