Rabu, 20 Juli 2022 - 20:10 WIB
Ilustrasi.(foto: jmc.co.id)
Artikel.news, Jakarta - Pada pertemuan G20 yang membahas Festival Ekonomi Keuangan Digital pada Senin (11/7/2022) lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluhkan banyaknya aplikasi milik pemerintah yang tersebar di berbagai kementerian dan lembaga.
Total, ada sekitar 24 ribu aplikasi, dimana setiap kementerian maupun lembaga pemerintah rata-rata memiliki 2.700 database sendiri-sendiri.
Jumlah aplikasi ini bisa terus bertambah, jika proses digitalisasi di dalam pemerintahan tidak segera dibenahi.
Banyaknya aplikasi itu dinilai oleh Sri Mulyani sebagai bentuk pemborosan. Karena itu, dia meminta supaya ada penyederhanaan dan integrasi data dalam satu database sehingga bisa menghemat biaya operasi pemerintah secara lebih efisien, efektif, serta mengurangi risiko serangan cyber security.
“Jadi enggak setiap kementerian/lembaga semua membuat aplikasi sendiri-sendiri yang tidak interoperable (dapat dioperasikan), melainkan mereka akan lebih terkoordinasi. Itu yang disebut digitalisasi government dan juga supaya seluruhnya itu bisa jauh lebih efisien,” kata Sri Mulyani.
Pegiat teknologi yang juga Co-Founder Kedata, sebuah startup analisis data yang berbasis di Yogyakarta, Rika Anggoro Prasetiya, dari 24 ribu aplikasi pemerintah dapat diintegrasikan dan akan menghemat biaya operasional pemerintah hingga Rp4,3 triliun.
Kuncinya adalah pembangunan enterprise arsitektur. Melalui enterprise arsitekur akan dapat dipetakan berbagai proses bisnis dari suatu organisasi untuk kemudian dapat diputuskan menjadi solusi teknologi yang efektif dan efisien.
Enterprise arsitektur menekankan adanya arsitektur teknologi dan arsitektur data yang tepat sebelum berbagai software/aplikasi dikembangkan.
Dalam prosesnya berkaitan dengan software/aplikasi yang saat ini sudah ada dan telah digunakan dapat menggunakan teknologi ETL (Extract Transform Load) untuk melakukan transformasi teknologi yang masif.
ETL merupakan proses integrasi data dengan menggabungkan data dari berbagai sumber ke dalam satu penyimpanan yang konsisten di dalam gudang data atau data warehouse.
Tak hanya membuat data dan aplikasi milik pemerintah tersebut menjadi lebih sederhana, jika diterapkan, ETL akan membuat biaya operasional pemerintah untuk membangun dan menjalankan aplikasi tersebut jauh lebih hemat. Pemanfatan ETL dapat memastikan bahwa data menjadi terstandar dan terintegrasi satu sama lain.
“Bisa memangkas cost sampai 90 persen,” kata Anggoro, dilansir dari Kumparan.com, Rabu (20/7/2022).
Anggoro mengatakan, untuk membangun satu aplikasi, minimal biaya yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 200 juta. Jika pemerintah memiliki 24.000 aplikasi, berarti paling tidak uang yang sudah dikeluarkan mencapai Rp4,8 triliun. Dan jumlah ini akan terus bertambah jika pemerintah masih menggunakan cara lama dalam pengelolaan datanya.
Jika Anggoro mengklaim teknologi ETL ini bisa memangkas biaya sampai 90 persen, artinya untuk membangun 24.000 aplikasi tersebut sebenarnya bisa lebih hemat sekitar Rp4,3 triliun.
“Besar sekali. Sebelum pengeluarannya semakin besar, memang mesti segera dilakukan integrasi menggunakan ETL ini,” ujarnya.
Ruwetnya Data di Pemerintahan
Banyaknya aplikasi yang dimiliki pemerintah menimbulkan masalah turunan yang makin memboroskan anggaran. Anggoro menjelaskan paling tidak ada empat masalah pengelolaan data di pemerintahan yang membuat puluhan triliun anggaran negara bisa terbuang sia-sia.
Empat masalah utama itu di antaranya missing data (data yang hilang), inkonsistensi data atau tidak adanya standarisasi data yang disepakati bersama, data yang terduplikat atau berulang, serta SILO yang membuat kumpulan data informasi yang ada memiliki akses terbatas sehingga tidak dapat diakses dan dipahami semua pihak meski berasal dari perusahaan yang sama.
“Sudah bikin appsnya pemborosan, menjalankan dan memaintance appsnya kan juga perlu orang. Rakyat juga rugi karena jadi rumit kalau pas berurusan dengan negara. Kerugian tidak hanya dari negara tapi waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan lagi oleh warga gara-gara input data sana-sini,” papar Anggoro.
Masalah tersebut muncul, Anggoro menjelaskan lagi, karena banyaknya aplikasi dan database milik pemerintah yang berbeda-beda dan tidak saling terintegrasi dan terstandarisasi. Akibatnya, satu data yang sama mesti di-input berulang-ulang sehingga mengakibatkan terjadinya duplikasi data.
Misalnya, Anggoro mencontohkan data pencarian bakat bulu tangkis di bawah Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Seorang anak yang ingin mengikuti pencarian bakat harus mengisi data identitas diri sejak level kecamatan. Ketika dia naik level ke kabupaten, provinsi, sampai nasional, dia harus mengisi identitas dirinya lagi di aplikasi berbeda.
“Kalau terintegrasi, harusnya kan data di kecamatan atau data yang sudah ada di Dukcapil, itu bisa dipakai di level kabupaten sampai pusat. Masalahnya saat ini, datanya silo, terfragmentasi atau tersebar sehingga jadi enggak mungkin untuk memanfaatkan data satu lembaga oleh lembaga lain,,” ujar Anggoro.
Cara Kerja Extract, Transform, dan Load
Teknologi ETL (extract, transform, load) yang beberapa tahun terakhir dikembangkan oleh KEDATA melalui platform bernama KALKULA, disebut-sebut oleh Anggoro, adalah pilihan solusi paling efisien atas permasalahan ‘ternak aplikasi’ yang dihadapi pemerintah.
Pertama, teknologi ini akan melakukan ekstraksi data, yakni memilih dan mengambil data dari ribuan database yang kini dimiliki pemerintah.
Setelah data-data tersebut diekstrak, langkah berikutnya adalah melakukan cleaning data, yakni menghilangkan data-data yang tidak dibutuhkan. Langkah inilah yang akan mengatasi masalah-masalah seperti silo data, data yang terfragmentasi, inkonsisten, maupun data yang terulang atau terduplikat.
“Lalu data itu diubah dari bentuk aslinya menjadi data yang telah terstandarisasi, bentuk yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh stakeholder,” kata Anggoro.
Setelah menjadi data yang terstandarisasi, data tersebut kemudian disimpan ke gudang data. Data-data yang tersimpan itulah yang kemudian akan ditampilkan ke dalam aplikasi dan dapat divisualisasikan sesuai dengan kebutuhan stakeholder.
Namun, sebelum membuat satu super-apps yang bisa jadi wadah semua data itu, langkah pertama yang mesti dilakukan oleh setiap stakeholder adalah melakukan standarisasi data. Pemerintah mesti punya standar format data yang telah disepakati bersama, sehingga data-data itu bisa diintegrasikan satu sama lain.
“Untuk contoh kecil saja ini, penulisan ‘Aku’ ya harus ‘Aku’, bukan ‘Q’, ‘Aq’, atau ‘Ak’,” ujarnya.
Menggunakan teknologi ETL, data-data milik pemerintah itu tak hanya akan terintegrasi, tapi juga bisa menjadi data interoperabilitas atau dibagi-pakaikan. Hal itu membuat kementerian atau lembaga yang satu bisa menggunakan data milik kementerian lainnya cukup melalui satu aplikasi saja.
“Misalnya dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), dinas pendidikan nantinya bisa memakai data dari dinas kependudukan dan catatan sipil (dindukcapil) untuk memverifikasi data calon peserta didik mereka,” kata Anggoro.
Laporan | : | Jannah |
Editor | : | Ruslan Amrullah |