Sabtu, 31 Desember 2022 - 19:23 WIB
Ilustrasi maskot Pemilu 2024.(Istimewa)
Artikel.news, Jakarta - Dua partai politik (parpol) besar di Indonesia yakni Golkar dan Nasdem kompak menolak sistem pemilu proporsional tertutup seperti wacana berkembang belakangan ini.
Ketua DPP Partai Golkar Dave Akbarshah Fikarno Laksono menyatakan, menolak penggunaan sistem proporsional tertutup untuk pemilihan umum (Pemilu) 2024. Menurutnya, sistem proporsional terbuka masih sangat relevan untuk kontestasi nasional mendatang.
"Sementara di Pemilu era demokrasi, ini yang harus diutamakan adalah hak suara rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan," ujar Dave lewat keterangannya yang dilansir dari Republika.co.id, Sabtu (31/12/2022).
Sistem proporsional terbuka memberikan hak kepada masyarakat untuk menentukan siapa yang diinginkan untuk menjadi wakilnya di parlemen. Ini juga menjadi alat untuk masyarakat menilai atau menghukum wakil rakyat yang tidak bekerja dengan baik.
"Ini memberikan semua kesempatan yang sama agar dapat terpilih dan juga mewajibkan para anggota Legislatif bekerja dan dekat dengan rakyat. Jangan sampai kewajiban ini hilang hanya karena keinginan elite parpol yang ingin mengontrol pergerakan bangsa," ujar Dave.
Usulan penggunaan kembali sistem proporsional tertutup hanya akan memperkuat sistem oligarki di dalam partai politik. Serta, justru hanya akan memberikan kekuatan kepada partai politik untuk menentukan siapa yang mereka inginkan bukan yang masyarakat inginkan.
Senada dengan Dave Laksono, Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya, juga menyatakan penolakan terhadap sistem proporsional tertutup.
Menurut Willy, wacana untuk kembali ke sistem proporsional tertutup adalah kemuduran dalam berdemokrasi. Hal tersebut hanya ekspresi kemalasan berpikir untuk membangun kemajuan dalam membangun kehidupan politik.
“Demokratisasi sepatutnya bukan memundurkan yang telah maju, tetapi memperbaiki dan menata ulang hal yang kurang saja. Yang terjadi pada sistem pemilu jika benar kembali ke sistem proporsional tertutup maka terjadi kemunduran luar biasa. Selain menutup peluang rakyat untuk mengenal caleg, rakyat juga dipaksa memilih kucing dalam karung,” kata Willy kepada wartawan, Jumat (30/12).
Willy juga menyatakan, sistem proporsional terbuka adalah bentuk kemajuan dalam praktik berdemokrasi. Ia menegaskan, sistem proporsional terbuka adalah antitesis dari sistem yang sebelumnya yakni sistem proporsional tertutup.
“Sistem proporsional terbuka dahulu dipilih untuk menjawab persoalan kesenjangan representasi. Ada kelemahan pengenalan dan saluran aspiratif rakyat dengan wakil rakyatnya. Dengan kembali ke proporsional tertutup artinya demokrasi kita mengalami kemunduran,” tegas Willy.
Willy juga mengingatkan, jika menggugat oligarki maka sistem Pemilu tertutup justru representasi dari hal tersebut. Menurutnya, sistem semacam itu akan memunculkan perlombaan untuk mendapatkan nomor urut kecil, menjadi pertarungan tersendiri di dalam partai.
Sebelumnya, Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengomentari gugatan UU Pemilu yang sedang berproses di MK, yang mana penggugatnya meminta mekanisme pemilihan calon anggota legislatif (caleg) diubah dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup. Menurut Hasyim, ada kemungkinan MK mengabulkan gugatan tersebut.
"Jadi kira-kira bisa diprediksi atau tidak putusan Mahkamah Konstitusi ke depan? Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," kata Hasyim ketika memberikan sambutan dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU di kantornya, Jakarta, Kamis (29/12).
Laporan | : | Faisal |
Editor | : | Ruslan Amrullah |