Kamis, 04 November 2021 - 19:51 WIB
Artikel.news, Jakarta -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyataka bahwa deforestasi dibolehkan sepanjang itu untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Ini disampaikan Siti Nurbaya di hadapan mahasiswa Indonesia yang belajar di Skotlandia, beberapa hari lalu. Juga diunggah ulang di akun media sosial pribadinya.
Menanggapi pernyataan Menteri LHK itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyebut jika hal itu sulit terima, malah berbanding terbalik dengan data yang dikeluarkan oleh KLHK sendiri.
Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana menyatakan, alasan yang diungkap berbanding terbalik dengan data 10 tahun terakhir yang dikeluarkan sendiri oleh KLHK.
Dikutip dari wikipedia, deforestasi atau pembukaan hutan adalah penebangan hutan atau tegakan pohon dari lahan yang kemudian dikonversi menjadi penggunaan non-hutan. Deforestasi dapat melibatkan konversi lahan hutan menjadi pertanian, peternakan, atau penggunaan perkotaan.
Menurut Wahyu Perdana, berdasarkan data itu, izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) lebih banyak digunakan untuk tambang dibandingkan dengan nontambang seperti pembuatan jalan warga.
"Faktualnya dalam 10 tahun terakhir, izin pakai kawasan hutan besaran buat tambang, dibanding untuk nontambang yang pakai kawasan hutannya," kata Wahyu kepada CNNIndonesia.com, Kamis (4/11/2021).
Wahyu merinci, pada periode 2014-2020 saja, lahan yang diberikan IPPKH untuk tambang mencapai 117.106 Hektare (Ha). Angka itu jauh lebih tinggi dari pada IPPKH untuk nontambang, yakni 14.410 Ha.
Pada periode sebelumnya, 2004-2014, IPPKH untuk tambang mencapai 305.070 Ha, sedangkan untuk nontambang mencapai 17.097 Ha.
Selain itu, Walhi juga mengkritik terkait dalih Siti yang mengaitkan dengan mandat UUD 1945 yakni membangun sasaran nasional untuk kesejahteraan rakyat secara sosial dan ekonomi.
Menurut pihaknya klaim yang dipakai Siti itu pun tak terbukti. Berdasarkan data yang dihimpun pihaknya, sedikitnya 62 persen lahan hutan di Indonesia sudah dikonsesi untuk korporasi besar.
"Kalau hitungan kasar, rakyat itu enggak nyampe 40 persen penguasaan tanah di luas daratan. Kita belum menghitung konsesi migas di lautan dan lepas pantai," ujar Wahyu.
"Apakah betul pembangunannya selalu sama dengan kesejahteraan rakyat?" tambahnya.
Belum lagi, sambungnya, jika merujuk pada data Badan pusat Statistika (BPS). Ia menyebut sejak 2013 sampai saat ini indeks rasio ketimpangan lahan cukup tinggi yaitu 0,068 persen.
"Bahasa sederhananya 1 persen orang terkaya menguasain 68 persen luas daratan. Jadi, pembangunan buat kami enggak nyampe 100 m² yang belum lunas? Atau buat konsesi besar-besaran itu?" kata Wahyu.
Wahyu mengingatkan, Siti juga tak bisa menjadikan hanya kesejahteraan rakyat lewat klaim pembangunan sebagai alasan untuk tetap melakukan deforestasi. Di satu sisi, sambung Wahyu, menggunakan dalih kesejahteraan rakyat saja tak terbukti kenyataannya di lapangan.
Wahyu menyebut, hak lingkungan hidup dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang sehat dan baik juga harus turut dipertimbangkan.
"Itu hak asasi manusia warga negara," ujarnya.
Ia juga mewanti wanti agar Siti mempertimbangkan dampak ekologis dari deforestasi. Menurutnya, biaya yang harus ditanggung akibat bencana ekologis lebih besar dibanding biaya pencegahan.
"Bank Dunia terhadap kebakaran hutan. Laporan kuartal Bank Dunia yang menyebut Karhutla itu cuman 2 kali tuh, 2015 dan 2019. Saya enggak tahu itu di periode siapa," kata Wahyu.
"Tapi kerugiannya cukup besar, bahkan dibanding dengan keuntungan profit ketika dia buka hutan," imbuhnya.
Sebelumnya, Siti berdalih bahwa pemerintah akan tetap melakukan deforestasi untuk pembangunan jalan warga di daerah daerah yang terisolasi. Dia memberi contoh, di Kalimantan dan Sumatera. Di sana, kata dia, masih banyak jalan yang terputus karena hutan rimba.
Sehingga, Siti menilai, deforestasi harus tetap dilakukan. Jika tak ada deforestasi, maka warga tak akan punya jalan. Itulah yang kemudian menjadi alasan Siti mengeluarkan pernyataan pembangunan besar-besaran di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak boleh berhenti atas nama deforestasi.
''Kalau konsepnya tidak ada deforestasi, berarti tidak boleh ada jalan, lalu bagaimana dengan masyarakatnya, apakah mereka harus terisolasi? Sementara negara harus benar-benar hadir di tengah rakyatnya,'' kata Siti dalam keterangan tertulisnya yang menerangkan apa disampaikan dalam pertemuan dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Glasgow.
Laporan | : | Wahyu |
Editor | : | Ruslan Amrullah |